Cerpen 'Pelajaran Berharga'
Pelajaran Berharga
Oleh :
Haninda Maulidyanti/11
Seperti hari-hari sebelumnya, apa
yang dilakukan Ibu Atika beserta anak-anaknya sama. Tak ada yang berbeda. Bedak
tebal menghias wajah mereka dan lipstik merah menyala terpoles indah di bibir
mereka. Wati dan Sandra. Ya ! Mereka adalah anak-anak Ibu Atika selain Rudi dan
Wawan. Sudah lama mereka tak merasakan bangku sekolah. Hanya Wati yang lulus
sampai SMP karena mendapat bantuan dari kecamatan.
“Wati, Sandra ! Cepat ambil
selendang kalian, Nak !” kata Ibu Atika.
“Rudi, Wawan ! Segera ambil gendang
dan gitar kalian. Kita harus segera berangkat. Sudah hampir jam 11.00, jalanan
sudah macet dan cuaca sangat panas hari ini.” Kata Ibu Atika lagi sambil
membetulkan letak sanggulnya.
“Uhuk!” tiba-tiba Ibu Atika
terbatuk. Ada darah keluar dari mulutnya. Segera beliau mengelapkan bekas
darahnya itu ke belakang bajunya supaya tidak diketahui oleh anak-anaknya.
Memang, sudah lama Ibu Atika
mengidap penyakit TBC. Beliau mengetahuinya setelah berobat ke puskesmas beberapa
hari lalu tentu saja diluar sepengetahuan anak-anaknya. Beliau tidak pernah
mengatakan kepada siapa-siapa tentang masalah ini. Sejak suaminya meninggal,
beliaulah yang mencari nafkah untuk keempat anaknya. Apabila mereka tahu
tentang sakit yang diderita Ibu Atika, mereka akan melarang beliau bekerja
lagi. Dan beliau tidak tega melihat anak-anaknya bekerja seorang diri.
Dengan semangat dan tekad yang kuat,
Ibu Atika dan anak-anaknya berangkat menuju tempat dimana mereka sering
mangkal. Tepatnya di daerah Kota Tua, Jakarta. Diatas sebuah trotoar yang
retak-retak, dekat perempatan lampu merah. Mereka mulai menari dengan
gemulainya, mengikuti lantunan musik Jawa yang lembut. Uang lima ratus hingga
lima ribu rupiah mulai mengisi toples bekas mereka yang semula kosong. Tak
peduli panasnya terik matahari, mereka tetap menari demi kelangsungan hidup
mereka.
Ditengah-tengah tarian, Ibu Atika
merasa pusing. Pusing yang sangat hebat. Tetapi, beliau tetap melanjutkan
tariannya. Beliau tetap tersenyum. Senyum yang sedikit dipaksakan. Siapa yang
tahu kalau ternyata dibalik senyum itu tersimpan rasa sakit yang luar biasa.
Entah darimana datangnya, seorang
pria muda berjas hitam dan berkacamata memberikan selembar kertas kecil pada
Ibu Atika. Orang itu mengajak Ibu Atika beserta keempat anaknya untuk datang ke
pasta ulang tahun pernikahan pria muda itu. Ia meminta mereka menari untuk
menghibur para undangan yang hadir.
Mungkin ini adalah hadiah yang
diberikan kepada keluarga Ibu Atika karena kesabaran dan kerja kerasnya dalam
mencari nafkah. Undangan untuk menari datang dari mana-mana. Bahkan dari luar
Jakarta.
Sampai suatu hari dimana ada sebuah
mobil mewah berhenti di salah satu sudut Kota Tua Jakarta. Sesosok wanita paruh
baya dengan rambut putih mulai menghiasi mahkota kepalanya, memandang tempat
itu dengan perasaan haru. Teringat dalam benaknya ketika ia dan anak-anaknya
menari dibawah terik sinar matahari, ketika perolehannya tak seberapa, ketika
ia dan anak-anaknya dalam keadaan kekurangan.
Ia
menangis sambil berkata dalam hati, “Terima kasih Ya Allah, engkau telah
memberi kami kesempatan untuk bisa merasakan hasil kerja keras kami di tempat
ini 5 tahun yang lalu. Sekarang, kami bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi
orang yang berkecukupan dan kami akan selalu bersyukur pada-Mu. Kami akan terus
mengingat-Mu. Dan kami akan terus mengingat pelajaran berharga yang telah
engkau berikan pada kami.”
Mobil
itupun pergi seiring dengan perginya sinar matahari sore itu J
-TAMAT-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar